Pasal 42 – 46
Registrasi dan KTA (Pasal 42-46)
Pasal 42
Pada pasal 42 ayat (1) huruf a dijelaskan bahwa pergantian Kartu
Satpam karena habis masa berlaku harus melalui tata cara seperti yang tercantum
pada Pasal 37 (3) yaitu menyertakan persyaratan seperti pada awal pembuatan
KTA. Pada dasarnya apabila data Satpam sudah ada sebelumnya maka persyaratan
seperti foto, rumus sidik jari tidak perlu lagi dilaksanakan. Karena hanya akan
menjadi tumpukan file saja. Akan lebih mudah ketika segala sesuatunya dapat
dilakukan pencocokan saja dengan sistem komputerisasi sehingga tidak perlu
melampirkan hardcopy dari persyaratan yang dimaksud.
Untuk kartu yang hilang atau rusak maka dalam rangka meminta
penggantiannya harus dilakukan pelampiran bukti-bukti hilang atau sebab-sebab
kerusakan sesuai Pasal 42 (1) huruf b. Untuk melakukan hal tersebut sebaiknya
dilampirkan dengan laporan kehilangan dari kepolisian (sesuai juklak dan juknis
pelaporan kehilangan barang) mengenai kehilangan KTA tersebut.
Pasal 42 (1) huruf c sebaiknya ada revisi mengenai penyerahan KTA Satpam yang meninggal dunia. Karena pada pasal itu disebutkan diserahkan oleh penggunanya, yang sebaiknya diganti dengan diserahkan oleh keluarga atau perusahaan yang bertanggung jawab atas keberadaan Satpam di perusahaannya.
Pasal 42 ayat (2) pendataan KTA dikordinasikan pelaksanaannya sampai tingkat terbawah agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan penomoran dengan format baku yang telah ditentukan.
Pasal 43
Karena kebanyakan satuan kepolisian daerah masih belum on-line
pada sistem pelaporannya, maka sebaiknya pelaporan disesuaikan dengan pelaporan
BUJP yaitu per-semester. Ini untuk menghindari keterlambatan laporan yang
seharusnya diterimakan dari tingkat Polres sampai Polda.
Pasal 44
Pembinaan disini dilaksanakan oleh Karo Bimmas Polri, apakah
dengan demikian semua database Satpam dilaporkan kepada Karo Bimmas ataukah
cukup Karo Bimmas mengetahui saja jumlah satpam yang ada di daerah, sedangkan
pelaksanaan pendataannya diserahkan pada daerah. Ini yang harus ditetapkan
melalui Keputusan Kapolri mengenai batas kewenangan yang diberikan agar tidak
terkesan
Polri menerapkan sistem desentralisasi secara murni.
Pasal 45
Cukup jelas
.
Pasal 46
Pasal 46
Berkaitan dengan anggaran penyelenggaraan registrasi dan
penerbitan KTA, sebaiknya dijelaskan tentang komponen apa saja yang terlibat
dalam hal tersebut agar tidak rancu dalam pelaksanaannya.
BAB IV
HUBUNGAN DAN TATA CARA KERJA
Pasal 47 ayat (1)
Pada huruf a bahwa hubungan vertikal ke atas dilakukan terhadap
Polri, Instansi/departemen teknis pemerintah dan asosiasi. Dengan Polri
dikatakan hubungan yang dilakukan adalah berkaitan dengan kompetensi,
legalitas, pemeliharan kemampuan dan kesiapsiagaan serta asistensi dan bantuan
operasional. Dalam hal kompetensi dan legalitas Polri sebagai lembaga
satu-satunya yang memberikan hal itu harus benar-benar selektif dan sesuai
dengan prosedur yang ada. Sedangkan dalam hal pemeliharaan kemampuan, nampaknya
Polri tidak sungguh-sungguh melakukan hal ini. Pemeliharaan harusnya bersifat
berkelanjutan, bukan seperti apa yang dilakukan Polri saat ini. Terkadang
penyuluhan hanya dilakukan insidentil ketika ada momen-momen tertentu saja dan
bukan merupakan suatu kegiatan rutin yang seharusnya dimasukkan dalam suatu
kegiatan dalam rangka pemeliharaan. Seharusnya Polri melakukan pemeliharaan secara
berkelanjutan sehingga kesiapsiagaan dan asistensi yang diberikan Polri kepada
satpam terlihat nyata pada penerapan kegiatan satpam selama mereka bertugas.
Untuk bantuan operasional, seharusnya dipertegas bantuan operasional apa yang
dapat diberikan Polri kepada satpam, karena untuk operasional sendiri saja,
Polri masih belum dapat memenuhinya secara baik.
Kemudian pada huruf a bagian 2 dikatakan bahwa hubungan terkait
dengan instansi dimana satpam tersebut bekerja. Hal ini benar karena biar
bagaimanapun, satpam yang ada harus menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan
dimana mereka bekerja. Selanjutnya huruf a bagian 3 menyatakan satpam menerima
arahan dari asosiasi terkait dengan pembinaan keprofesian di bidang industrial
sekuriti dan advokasi terhadap masalah hukum yang terjadi. Sebaiknya semua hal
tersebut berada dibawah pengawasan Polri, sehingga terkontrol dengan baik
arahan apa yang diberikan oleh asosiasi terhadap satpam.
Lalu pada huruf b, satpam harus melakukan kordinasi sesama
satpam, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat. Untuk kordinasi dengan
masyarakat tentunya hal ini pasti dapat dilakukan dengan baik dengan alasan
yang dilindungi satpam adalah masyarakat, secara otomatis maka satpam akan
selalu berkordinasi dengan masyarakat. Namun untuk organisasi masyarakat dan
sesama satpam sampai saat ini yang terlihat masih kurang berjalan, karena dari
mereka belum ada rasa saling keterikatan, begitu pula dengan organisasi
masyarakat. Satpam selalu mengandalkan Babinkamtibmas untuk melakukan hubungan
tersebut, sehingga dalam aplikasinya hubungan horizontal perlu mendapatkan
perhatian lebih agar dapat berjalan dengan baik seperti yang diharapkan.
Dan pada huruf c menyatakan hubungan dalam organisasi satpam dan perorangan. Sebenarnya kurang tepat bila ada hubungan vertikal ke bawah karena satpam hanya dapat melakukan hubungan vertikal ke atas dan horizontal. Sedangkan kebawah apabila dikaitkan dengan kode etik dan pertelaahan tugas, seharusnya Polri-lah yang berperan di bidang ini.
Pasal 47 ayat (2)
Disini harus diberikan petunjuk berupa Keputusan Kapolri,
mengenai SOP baku yang harus dilaksanakan oleh badan usaha/perusahaan/instansi
pemerintah/organisasi pengguna jasa pengamanan. Jadi standar pengamanan di
tiap-tiap badan usaha tersebut sama.
Pasal 47 ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 48
Dalam pasal 48 ayat (1) mulai butir a sampai dengan e, semua
prosedur yang dibuat adalah berdasarkan kebijakan perusahaan/instansi, namun
demikian ada baiknya bila Polri sebagai pembina satpam dan pengawas satpam
mendapatkan tembusan dari apa yang tercantum dalam Pasal ini, tidak terbatas
hanya pada puncak manajemen (direksi) saja. Hal ini dilakukan sebagai sebuah
sarana kontrol bagi Polri terhadap satpam-satpam yang ada dan bila
sewaktu-waktu diperlukan evaluasi, maka Polri dapat melihatnya dari laporan-laporan
yang dibuat oleh satpam tersebut.
Sedangkan pada ayat (2), masih ditemui satpam yang enggan menjadi saksi dalam sebuah kasus pidana yang terjadi di lingkungan tugasnya. Bahkan terkadang laporan polisi yang dibuat masih harus menunggu korban yang sesungguhnya. Sepertinya satpam tidak mengerti perbedaan delik aduan dan pidana murni, sehingga apa yang selama ini kurang dimengerti oleh satpam (karena jangka waktu pendidikan yang relatif sangat singkat) harus dijadikan perhatian tambahan guna menciptakan satpam yang lebih baik dari sebelumnya.
Pasal 49
Pada ayat (3) dinyatakan bahwa renpam hanya diserahkan pada
Polri bila dianggap perlu. Seharusnya ini menjadi suatu kewajiban bagi
perusahaan atau instansi untuk memberitahukan bagaimana renpam yang dimiliki
oleh perusahaan tersebut. Sekalipun renpam harus mengacu pada kebijakan
perusahaan/instansi, tetapi tidak ada salahnya Polri selaku pembina satpam
diajak berkoordinasi dalam pembuatannya. Hal ini agar Polri lebih mudah
melakukan kontrol terhadap kegiatan dan rencana pengamanan yang dimiliki oleh
perusahaan/instansi.
Pasal 50
Yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah mengenai pelatihan
berkala yang seharusnya diberikan secara periodik dalam rangka peninjauan dan
untuk penyesuaian/ penyempurnaan. Selama ini kita ketahui bahwa pelatihan untuk
kegiatan-kegiatan kontijensi hanya dilakukan beberapa instansi saja dan itu pun
dilakukan hanya pada momen-momen tertentu saja. Contoh yang konkrit adalah
ketika terjadi peledakan bom di JW.Marriot Hotel, barulah kemudian dilakukan
pelatihan satpam serta karyawan untuk melakukan latihan evakuasi. Ini
menunjukkan belum adanya kesadaran dari asosiasi, perusahaan/instansi dan Polri
untuk menggalakkan latihan pengamanan kontijensi secara berkala. Ekses yang
ditimbulkan adalah apabila sesuatu yang dikhawatirkan benar-benar terjadi,
satpam tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana harus berbuat. Oleh karena
itu Polri harus berupaya mewujudkan pelatihan-pelatihan pengamanan kontijensi
agar satpam terbiasa dengan kegiatan pengamanan yang mereka rencanakan sendiri.
Pasal 51
Kekurangan dalam produk yang dibuat ini adalah tidak
dicantumkannya SOP dalam bertindak dalam keadaan kontijensi. Dengan demikian
apabila SOP masuk dalam isi yang tergabung dengan target kegiatan, personel
penanggung jawab, uraian kegiatan dan lain-lain seperti yang tercantum pada
pasal ini ayat (1) huruf c maka akan lebih jelas tentang bagaimana menanggapi
keadaan kontijensi tersebut. Selanjutnya dalam ayat (1) huruf c jadwal
pelaksanaan tidak perlu dicantumkan, karena namanya kontijensi sifatnya adalah
insidentil yang tidak mengenal jadwal dan kapan waktu kejadiannya. Intinya pada
saat keadaan darurat terjadi, satpam tahu harus berbuat apa dan bagaimana dalam
menangani keadaan tersebut.
BAB V
BAB V
BUJP
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 52 ayat (1)
BUJP memang dapat diberdayakan oleh organisasi, perusahaan
dan/atau instansi/lembaga pemerintah. Namun seyogyanya pemberdayaan BUJP ini
disesuaikan dengan kegunaannya. Berarti tidak setiap organisasi dapat
menggunakan jasa BUJP, setidaknya harus dilihat provit dari
organisasi/perusahaan/instansi/lembaga pemerintah. Harus diatur kembali siapa
lembaga yang berhak menggunakan jasa BUJP ini untuk menghindari tumbuhnya
perusahaan jasa yang tidak memenuhi standar prosedural pengamanan.
Pasal 52 ayat (2)
BUJP sebagaimana ayat (1) dibina oleh Polri dan wajib
mendapatkan izin operasional dari Kapolri berdasarkan rekomendasi dari Polda di
tempat badan usaha tersebut beroperasi. Sebagaimana UU No.2 Tahun 2002 pada
pasal 15 ayat (2) huruf f memang disebutkan bahwa ”memberi izin
operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa
pengamanan”. Namun perlu diketahui disini bahwa memberi izin operasional
bukanlah wewenang dari Polri, namun wewenang dari Departemen Perdagangan dan
Pemerintah Daerah. Akte Notaris perusahaan disahkan oleh Departemen Hukum dan
HAM, serta izin kerja tenaga asing diserahkan pada Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Seharusnya telah dibuat MoU antara Polri dengan Departemen
terkait mengenai pelaksanaan izin operasional BUJP tersebut. Setelah MoU tadi
disepakati, harus diatur kembali melalui Keputusan Kapolri mengenai kewenangan
Mabes Polri dan mana yang didelegasikan ke Polda-Polda. Diperlukan beberapa
juklak dan juknis dari Mabes Polri sebagai pegangan Polda guna pelaksanaan
pembinaan dan pengawasan BUJP.
Bagian Kedua
Penggolongan
Penggolongan jasa pengamanan harus diteliti kembali oleh Polri, apa-apa saja yang dapat digolongkan kedalam jasa pengamanan. Kebanyakan SK yang ada tidak jelas penggolongannya (lihat SK Kapolri Rusmanhadi dan SK Kapolri Sutanto sebagai perbandingannya).
Pasal 53
Penggolongan BUJP yang terdiri dari:
a. Usaha Jasa Konsultasi Keamanan (Security Consultancy);
b. Usaha Jasa Penerapan Peralatan Keamanan (Security Devices);
c. Usaha Jasa Pelatihan Keamanan (Security Training);
d. Usaha Jasa Kawal Angkut Uang dan Barang Berharga (Valuables Security Transport);
e. Usaha Jasa Penyediaan Tenaga Pengamanan (Guard Services);
f. Usaha Jasa Penyediaan Satwa (K9 Services).
Kiranya pada huruf (f) perlu diteliti kembali, apa ada perusahaan yang bergerak di bidang ini. Penyediaan satwa (K9) apakah disediakan satwanya saja atau sekalian dengan pelatihnya (trainer). Amat jarang perusahaan yang mau menyewa satwa karena cost-nya yang dapat melebihi cost apabila menggunakan tenaga manusia.
Pasal 54
Pada ayat (6) bukan hanya menyediakan satwanya saja namun juga
menyediakan satwa dan pelatihnya untuk membantu perusahaan melakukan hal-hal
yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban di lingkungannya.
Pasal 5
Disini belum diatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
apabila BUJP tersebut menyediakan konsultan asing didalamnya. Disini peran
Polri untuk mengecek kualifikasinya, berikut dengan persyaratan-persyaratan
lain yang terkait dengan tenaga kerja dari luar negeri.
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Pada huruf (a) kualifikasi Gada Utama karena dikendalikan oleh
Mabes Polri, harus dituangkan kembali dalam bentuk Keputusan Kapolri mengenai
kekhususan dalam kualifikasi tersebut. Termasuk disitu harus dirumuskan siapa
lembaga yang berwenang untuk mengawasi pemberian kualifikasi tersebut, apakah
Bimmas, Samapta atau Brimob.
Kemudian disini belum diatur mengenai fasilitas pelatihan, tenaga pelatihan, kurikulum dan sebagainya. Hal ini penting untuk tidak sembarangan memberikan izin operasional bagi BUJP yang hanya ingin mengeruk keuntungan saja namun tidak memperhatikan aspek-aspek dalam manajemen sekuriti.
Pasal 58
Pada huruf (b) dikarenakan BUJP merupakan perusahaan swasta,
maka untuk menghindarkan kesan anggota Polri merupakan tenaga bayaran, maka
ayat ini harus dihapuskan. Teknis pengawalan barang-barang berharga yang
diserahkan kepada Dit Samapta sudah diatur dalam juklak atau juknis Polri
mengenai hal tersebut.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Kalau memang jasa ini harus diadakan, maka penyedianya harus
menyediakan seluruh kegiatan usahanya yaitu menyediakan satwa yang berkemampuan
khusus dan mengikutsertakan pawang satwa untuk membantu tugas Satpam. Karena
satwa dan pawang satwa merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan
mengingat kemampan yang dimiliki oleh keduanya merupakan hasil kolaborasi.
Bagian Ketiga
Bagian Ketiga
Kewajiban
Pasal 61
Pada ayat (1) huruf c, mengenai laporan ke Karo Bimmas perlu
ditinjau kembali darimana wewenang Karo Bimmas untuk menerima laporan tersebut.
Apakah tidak bersinggungan dengan pertelaahan tugas dari Deops maupun
Kababinkam mengingat masalah pengamanan ada pada pertelaahan tugas
masing-masing. Ini perlu diatur terlebih dahulu melalui Keputusan Kapolri mengenai
wewenang tersebut. Kemudian mengingat ada juga BUJP yang tersebar di
daerah-daerah, apakah juga Polda diberikan kewenangan untuk langsung menerima
laporan tersebut tanpa harus laporan tersebut ditujukan kepada Mabes Polri.
Kemudian, karena BUJP ini tetap harus diawasi pelaksanaan kegiatannya, maka dalam perizinannya harus dicantumkan batas waktu izin operasional BUJP tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan BUJP yang tidak produktif masih beroperasi terus.
Kemudian, karena BUJP ini tetap harus diawasi pelaksanaan kegiatannya, maka dalam perizinannya harus dicantumkan batas waktu izin operasional BUJP tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan BUJP yang tidak produktif masih beroperasi terus.
Pada ayat (2) selain ke-4 hal tersebut, harus dicantumkan juga
pelaksanaan tugas per-kegiatan usaha yang dijalankan. Agar pihak Mabes Polri
maupun Polda dapat meneliti apakah perusahaan tersebut masih layak diberikan
perpanjangan izin operasional atau tidak. Apabila pelaksanaan tugasnya banyak
membantu tugas pokok Polri, maka dapat direkomendasikan untuk diperpanjang
izinnya. Apabila tidak, maka Polri dapat merekomendasikan untuk penutupan izin
usaha BUJP tersebut.
Bagian Keempat
Bagian Keempat
Surat Rekomendasi dan Surat Izin Operasional Badan Usaha
Surat Rekomendasi
Tata cara memperoleh surat rekomendasi oleh badan usaha jasa pengamanan dalam bentuk perseroan terbatas (PT) yang mencantumkan jasa pengamanan sebagai salah satu bidang usahanya. Surat rekomendasi ini hanya berlaku 6 bulan sejak dikeluarkan, untuk digunakan mengurus Surat Izin Operasional.
Pasal 62
Seharusnya surat permohonan ditujukan kepada Kapolda langsung
tidak bersifat U.p. (untuk periksa), dengan argumen Kapolda sebagai Pimpinan
Kepolisian Daerah harus mengetahui dengan pasti keberadaan dan perkembangan
perusahaan jasa pengamanan di wilayahnya. Kapolda harus bertanggung jawab
tentang proses pemeliharaan keamanan dan peta kekuatan Satpam dan BUJP yang
ada.
Adapun dalam pelaksanaannya, Kapolda mendelegasikan kewenangannya kepada Karo Binamitra. Kegiatannya, selain melakukan pemeriksaan kelengkapan administrasi, staf ini juga harus melakukan survei lapangan dan melaporkan hasilnya kepada pimpinan. Apabila persyaratan administrasi dan hasil pengecekan lapangan dinyatakan layak, perusahaan itu menjalankan usaha jasa pengamanan. Kemudian Surat Rekomendasi diketahui dan di tandatangani oleh Kapolda atau Wakapolda sebagai pimpinan Kesatuan Polda. Sehingga Kapolda memperoleh gambaran dan mengetahui secara pasti kekuatan Satuan pengamanan dan keberadaan usaha jasa pengamanan di wilayah kerjanya. Dengan demikian, Kapolda pada masa sekarang harus bersedia bekerja dan mengerti tugas yang menjadi prioritas serta mengurangi kegiatan-kegiatan protokoler dan acara seremonial yang berlebihan atau kurang penting bagi organisasi maupun tugas kepolisian.
Adapun dalam pelaksanaannya, Kapolda mendelegasikan kewenangannya kepada Karo Binamitra. Kegiatannya, selain melakukan pemeriksaan kelengkapan administrasi, staf ini juga harus melakukan survei lapangan dan melaporkan hasilnya kepada pimpinan. Apabila persyaratan administrasi dan hasil pengecekan lapangan dinyatakan layak, perusahaan itu menjalankan usaha jasa pengamanan. Kemudian Surat Rekomendasi diketahui dan di tandatangani oleh Kapolda atau Wakapolda sebagai pimpinan Kesatuan Polda. Sehingga Kapolda memperoleh gambaran dan mengetahui secara pasti kekuatan Satuan pengamanan dan keberadaan usaha jasa pengamanan di wilayah kerjanya. Dengan demikian, Kapolda pada masa sekarang harus bersedia bekerja dan mengerti tugas yang menjadi prioritas serta mengurangi kegiatan-kegiatan protokoler dan acara seremonial yang berlebihan atau kurang penting bagi organisasi maupun tugas kepolisian.
Permohonan Surat Rekomendasi ini harus disampaikan oleh pemohon secara terperinci dan hanya boleh menyampaikan satu jenis/bidang usaha jasa pengamanan saja, misalnya: Surat Rekomendasi untuk memperoleh Surat Izin bidang Jasa Konsultan keamanan, maka tidak dapat disatukan dengan permohonan bidang lain seperti bidang Jasa Penerapan Keamanan atau bidang Jasa Pelatihan keamanan apalagi 6 bidang jasa disatukan permohonannya sekaligus, itu tidak benar.
Surat Izin Operasional
Pasal 63
Perlu diyakinkan dengan Surat Rekomendasi dari Polda bahwa
kegiatan usaha benar-benar belum beroperasi dan bukan bersifat persetujuan
usaha yang sudah berjalan. Bila ditemukan, harus diberikan sanksi administrasi
dan penghentian kegiatan serta tidak diterbitkan Izin operasional.
Pasal 64
Persyaratan untuk mendapat Surat Izin Operasional, yang umum
maupun yang bersifat khusus harus menyatakan kesungguhan dan kesesuaian dengan
dengan faktanya. Hal yang harus diperhatikan adalah meyakinkan keberadaan
perusahaan tersebut layak dan sungguh-sungguh membuka usaha jasa pengamanan.
Harus diwaspadai jangan sampai bidang usaha PT tadi tidak sesuai dengan usaha
jasa pengamanan, dengan kata lain hanya sekedar numpang administrasi saja dan
bersifat formalitas semata.
Pasal 65
Pada huruf a bahwa permohonan surat izin operasional ditujukan
kepada Kapolri U.p. (untuk periksa) Karo Bimmas Polri, juga harus dikaji ulang
karena kewenangan Kapolri (Bintang 4) langsung U.p. Karo (bintang satu)
melewati Bintang 3 dan bintang 2. Jadi kami berpendapat Karo hanya mengerjakan
proses yang diberikan oleh Kapolri/ Wakapolri melalui Deops Kapolri. Sehingga
penandatangananpun tidak oleh Karo Bimmas tetapi minimal Deputi Kapolri Bidang
Operasi (Deops). Hal ini dimaksudkan untuk pengawasan dan pengendalian oleh
Pimpinan.
Hal yang harus menjadi perhatian ditengarai adanya ”kemudahan” membuat izin operasional oleh oknum Biro Binamitra selama ini, misalnya permohonan Surat ijin operasional sekaligus dibuat 6 izin operasional bidang usaha jasa pengamanan. Hal itu tidak benar, karena menunjukan tidak adanya kesungguhan pertanggungjawaban pemberi izin dalam hal ini Polri untuk mengecek langsung kelayakan dan sarana prasarana yang harus dimiliki setiap bidang usaha, misalnya Usaha jasa Penyedia satwa, maka perusahaan jasa ini harus memiliki berbagai jenis satwa/binatang terlatih yang terpelihara dan kandang serta lapangan yang memadai untuk melatih satwa tersebut. Kemudahan-kemudahan ini diberikan, adanya indikasi kolusi atas sejumlah biaya yang serahkan dari pemohon kepada oknum yang menerima berdalih biaya administrasi. Hal ini harus diwaspadai karena apabila pertanggungjawaban keuangan yang diterima merupakan sumber penerimaan keuangan negara bukan pajak PNBP, bila disalahgunakan untuk kepentingan peribadi atau berdalih kepentingan dana operasional unit kerja tertentu, tetap dapat dikategorikan korupsi.
Pasal 66 ayat (1)
Seharusnya langsung ditentukan bahwa wilayah kegiatan dari BUJP
ditentukan sesuai wilayah Polda yang bersangkutan sehubungan Surat Rekomendasi
diberikan oleh Tingkat Polda. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan,
pembinaan teknis dan koordinasi serta pertanggungjawaban.
Pasal 66 ayat (2)
Pasal 66 ayat (2)
Jangka waktu berlakunya Surat Izin Operasional BUJP sebaiknya
tidak hanya satu tahun, tetapi sampai 5 (lima) tahun, baik izin yang baru
maupun yang perpanjangan. Pertimbangannya, karena kalau hanya satu tahun
sedangkan proses pengajuan Surat rekomendasi saja sudah enam bulan, artinya
setelah enam bulan kemudian harus sudah mengajukan permohonan lagi. Hal ini
tentunya tidak mencerminkan pelayanan Polri yang baik. Apabila alasannya untuk
kontrol, maka dapat dilakukan melalui kewajiban kepolisian, secara rutin atau
insidentil melaksanakan pengawasan ke perusahaan BUJP sebagai konsekuensi
mengeluarkan izin operasional.
BAB VI
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Bagian Kesatu
Audit SMP
Pasal 67
Disini tertulis; ”mengatur pelaksanaan audit untuk
memastikan penerapan sistem managemen pengamanan dalam rangka pengawasan dan
pengendalian”. Seharusnya berbunyi dalam rangka ”pengawasan dan pembinaan”,
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Kapolisian No. 2 tahun 2002 pasal
14 ayat (1) huruf f; atau memberikan petunjuk teknis kepolisian pada pengamanan
swakarsa, sebagaimana Pasal 15 ayat (2) huruf g, UU No. 2 Tahun 2002.
Pelaksanaan audit SMP meliputi audit kecukupan dokumen, audit kesesuaian dan audit pengawasan, artinya sistem managemen pengamanan dipastikan telah mengikuti ketentuan persyaratan dokumen, administrasi dan perundang-undangan. Audit dilakukan oleh Lembaga Audit Publik Nasional yang independen, dan mendapat penunjukan melalui keputusan Kapolri ayat (7). Menurut kami cukup ditulis dilakukan oleh tim Audit yang ditunjuk oleh keputusan Kapolri, karena pencantuman lembaga publik independen bertentangan atau tidak perlu. Kenyataannya, tim ini tidak akan independen, sebab tim audit memang akan membawa misi kepentingan tugas Polri, tetapi berdasarkan undang-undang untuk kepentingan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat secara keseluruhan. Pada ayat (8) bahwa kriteria badan Audit akan diatur dalam petunjuk teknis, Petunjuk teknis tersebut harus rinci dan komprehensif, memuat segala hal ihwal audit, subjek, objek dan metode audit serta etikanya.
Pasal 68
Pelaksanaan audit SMP meliputi audit kecukupan dokumen, audit kesesuaian dan audit pengawasan, artinya sistem managemen pengamanan dipastikan telah mengikuti ketentuan persyaratan dokumen, administrasi dan perundang-undangan. Audit dilakukan oleh Lembaga Audit Publik Nasional yang independen, dan mendapat penunjukan melalui keputusan Kapolri ayat (7). Menurut kami cukup ditulis dilakukan oleh tim Audit yang ditunjuk oleh keputusan Kapolri, karena pencantuman lembaga publik independen bertentangan atau tidak perlu. Kenyataannya, tim ini tidak akan independen, sebab tim audit memang akan membawa misi kepentingan tugas Polri, tetapi berdasarkan undang-undang untuk kepentingan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat secara keseluruhan. Pada ayat (8) bahwa kriteria badan Audit akan diatur dalam petunjuk teknis, Petunjuk teknis tersebut harus rinci dan komprehensif, memuat segala hal ihwal audit, subjek, objek dan metode audit serta etikanya.
Pasal 68
Pada huruf a dan poin b ayat ini tumpang tindih, karena huruf a
bagian 3; Polri menunjuk personil yang dilibatkan dalam tim audit. huruf b;
Badan Audit menyiapkan personil yang dilibatkan dalam tim audit. Tidak jelas
dan tumpang tindih.
Pasal 69
Pada ayat (1) huruf a tidak perlu, karena membingungkan.
Seharusnya Personil Polri yang punya kualifikasi auditor atau auditor yang
ditunjuk dengan Surat Perintah Kapolri, atau Kapolda untuk tingkat Polda.
Pada ayat (2) terlalu menonjolkan kewenangan Robimmas Polri
dalam hal penunjukan tim audit.
Pasal 70
Pelaksanaan audit meliputi pemeriksaan dokumen, pengisian
quesioner, pengamatan langsung dan parameter skoring baik penilaian kualitatif
juga kuantitatif harus disiapkan dan terencana. Ayat (5) Karobimmas Polri
melaporkan seluruh kegiatan audit kepada Kapolri, seharusnya melalui Deops
Kapolri atau Wakapolri. Atau ayat ini tidak perlu ada.
Bagian Kedua
Audit BUJP
Pasal 71 – 72
Disebutkan bahwa Polri melakukan pengawasan terhadap BUJP
melalui kegiatan audit baik secara berkala maupun insidentil. Kegiatan yang
dilaksanakan, meliputi audit kecukupan, audit kesesuaian dan audit pengawasan.
Hasilnya dilaporkan oleh Tim audit kepada Karo Bimmas Polri. Apakah tidak
sebaiknya dilaporkan kepada Deops Kapolri, karena dalam struktur organisasi
Polri, Birobimmas Polri berada di bawah Sdeops Polri. Selain itu, tidak
dijelaskan apakah kegiatan-kegiatan audit tersebut dilaksanakan secara
berkesinambungan atau tidak. Sebagai contoh setelah audit kecukupan untuk
persyaratan administrasi dilakukan kepada BUJP yang akan perpanjangan izin
operasional, apakah langsung dilaksanakan audit kesesuaian yang juga dilakukan
untuk mendapatkan izin perpanjangan BUJP.
Pasal 73
Pasal 73
Pada huruf b, disebutkan bahwa tim audit menyiapkan personel
yang dilibatkan dalam tim audit. Menurut kami, kalimat ini agak rancu,
seharusnya ....dilibatkan dalam kegiatan audit. Karena sesuai pasal 69 (2)
telah dijelaskan bahwa tim audit merupakan anggota yang ditunjuk oleh Polri dan
telah mendapat pelatihan teknis audit, telah terdaftar dan tersertifikasi dari
Biro Bimmas Polri.
Pasal 74
Pada huruf a – e disebutkan mengenai kewajiban BUJP dalam rangka
audit, namun tidak dicantumkan secara eksplisit tentang siapa yang harus
menanggung biaya kegiatan audit tersebut. Pada pasal 77 dijelaskan bahwa biaya
pelaksanaan audit SMP dibebankan kepada organisasi, perusahaan, atau
instansi/lembaga pemerintah yang diaudit. Kurang jelas apakah ini termasuk juga
untuk kegiatan audit BUJP.
Pasal 75
Pasal 75
Parameter penilaian audit dituangkan secara kualitatif dan
kuantitatif, serta ditetapkan dengan petunjuk teknis. Petunjuk teknis ini
nantinya harus dijelaskan secara terperinci tentang bagaimana teknis dan
kriteria penilaiannya, sehingga dapat memberikan hasil audit yang optimal dan
obyektif.
BAB VII
BAB VII
EVALUASI DAN PENILAIAN
Pasal 76 ayat (1)
Disini disebutkan bahwa Evaluasi dan penilaian atas laporan
audit SMP dilaksanakan oleh Polri c.q. Birobimmas Polri. Selanjutnya ayat (2)
berdasar hasil evaluasi dan penilaian Polri memberikan penghargaan atau
tindakan pembinaan sesuai dengan tingkat pencapaian penerapan SMP. Tidak
dijelaskan apa yang dimaksud dengan tindakan pembinaan dan bagaimana bentuknya.
Pasal 76 ayat (3)
Pasal 76 ayat (3)
Ayat yang menjelaskan tentang prosentase pencapaian yang didapat
oleh perusahaan dalam kegiatan evaluasi dan penilaian, namun tidak dijelaskan
kriteria penilaiannya bagaimana sebuah perusahaan dapat memperoleh prosentase 0
– 59%, 60 – 84%, dan 85 – 100%. Selain itu karena penilaian sangat tergantung
dari tim audit, maka mungkin saja hasilnya akan bersifat subyektif, dan
memungkinkan adanya kolusi antara tim audit dan perusahaan terkait
Pasal 76 ayat (4)
Sertifikat penghargaan ditandatangani oleh Kapolri berlaku untuk
jangka waktu 3 (tiga) tahun. Disini kelihatannya jangka waktunya terlalu lama.
Suatu perusahaan mendapat sertifikat merupakan jaminan/kepercayaan bahwa
perusahaan itu sehat dan bersih. Namun bagaimana bila performa perusahaan
menurun, melanggar atau bangkrut sebelum jangka waktu tersebut. Apakah
penghargaan secara otomatis ditarik? Selain itu, pemberian plakat emas maupun
perak terlalu berlebihan, apalagi bila dibebankan kepada anggaran dinas
Polri/APBN.
Pasal 76 ayat (5)
Mengenai mekanisme penilaian untuk audit izin operasional BUJP,
yang prosentasenya sama seperti pada ayat (3). Sebaiknya ayat ini dibuat pasal
tersendiri, karena membahas hal yang berbeda, walaupun menggunakan prosentase
yang sama.
Pasal 77
Menjelaskan bahwa biaya pelaksanaan audit SMP dibebankan kepada
organisasi, perusahaan, atau instansi/lembaga pemerintah yang diaudit. Hal ini
perlu diketahui dan disosialisasikan dahulu, sehingga tidak akan membebani
perusahaan yang akan diaudit
BAB VIII
SANKSI
Bagian Kesatu
Bagian Kesatu
Pelatihan
Pasal 78
Pasal 78
Menyebutkan bahwa bagi lembaga pendidikan yang tidak membuat
laporan pelaksanaan kegiatan pelatihan, dikenakan sanksi berupa peringatan
tertulis, dan apabila dalam jangka waktu 3 bulan setelah penetapan sanksi
peringatan tertulis tidak diindahkan, maka dikenakan sanksi peninjauan kembali
terhadap penyelenggaraan pelatihan. Sanksi yang diberikan kurang tegas, apa
yang dimaksud dengan peninjauan kembali? Serta tidak memberi pengaruh terhadap
instansi bersangkutan, sehingga kegiatan tetap berjalan seperti biasa.
Hal-hal yang harus dilaporkan oleh lembaga pendidikan setiap
pelaksanaan pelatihan Satpam meliputi : jumlah dan sumber peserta, sarana dan
prasarana, materi dan metode pelatihan, instruktur, dan hasil pelatihan. Pasal
ini tidak menyebutkan apakah ketentuan ini berlaku pula apabila yang
menyelenggarakan pendidikan satpam adalah lemdik Polri sendiri atau TNI, dan
apakah sistem pelaporan dan sanksinya sama seperti lemdik BUJP.
Bagian Kedua
Gam dan atribut
Pasal 79
Menyebutkan tentang beraneka ragam sanksi bagi anggota Satpam
yang tidak menggunakan seragam dan atribut sebagaimana telah ditetapkan dalam
Perkap ini. Namun bila melihat dalam praktek sehari-hari, tidak dapat
dipungkiri bahwa seragam dan atribut satpam sangat bermacam-macam (barongsai)
dan belum sesuai dengan Gam Satpam.
Sebelum sanksi-sanksi ini diberlakukan kepada satpam maupun
pimpinan satpam (security manager), maka Polri harus introspeksi
terlebih dahulu, apakah Polri telah memanggil atau memberikan bimbingan teknis
dan informasi bagaimana seharusnya Gam dan atribut Satpam, apakah pihak
perusahaan telah memahami secara jelas ketentuan Gam dan atribut yang
ditetapkan, serta telah mensosialisasikan peraturan ini. Apabila pihak
perusahaan telah mengetahuinya, namun tidak mengindahkan, maka sanksi dapat
diterapkan. Dalam penerapannya, harus konsisten dan berani bertindak tegas,
karena telah diamanatkan dalam UU No. 2 Tahun 2002 bahwa hal ini termasuk dalam
lingkup tugas dan wewenang Polri.
Bagian Ketiga
Bagian Ketiga
Registrasi dan KTA
Pasal 80
Disebutkan bahwa bagi satpam yang terlambat dalam pengurusan
KTA, dikenakan sanksi berupa teguran tertulis, apabila keterlambatan lebih dari
satu tahun, maka wajib dilakukan penyegaran pelatihan kembali. Dalam
prakteknya, banyak anggota satpam yang terlambat dalam mengurus KTA-nya. Bagi
anggota Satpam yang terlibat tindak pidana, maka KTA akan dicabut. Bagi anggota
Satpam yang tidak dapat menunjukkan KTA ketika bertugas, dikenakan pembekuan
sampai dengan dapat menunjukkan KTA. Bila menggunakan KTA palsu dikenakan
ketentuan pidana.
Apabila sanksi-sanksi ini akan diterapkan, maka harus konsisten,
atau hanya akan dianggap angin lalu saja. Untuk itu, seluruh anggota Polri yang
bertugas di bidang pembinaan Satpam harus memahami ketentuan ini, dan melakukan
pemeriksaan secara berkala maupun insidentil. Hal ini disebabkan, penggunaan
Gam, atribut, maupun KTA, merupakan tanda pengenal yang memberikan jaminan
kepastian bagi masyarakat bahwa dirinya berhadapan dengan petugas resmi.
Bagian Keempat
Bagian Keempat
BUJP
Pasal 81
Pasal 81
Dalam pengenaan sanksi ini juga harus ditegaskan mengenai siapa
badan yang berhak untuk mencabut izin operasional BUJP tersebut, apakah Polri
ataukah Instansi/Departemen lain yang terkait dengan BUJP tersebut. Apabila hal
tersebut sudah diadakan kesepakatan antar Departemen, maka Polri berhak untuk
menjadi lembaga yang berhak untuk mencabut izin operasional BUJP tersebut.
Pasal 82
Pasal 82
Menyebutkan bahwa BUJP yang tidak memenuhi parameter penilaian
yang dihasilkan oleh tim audit, maka izin operasionalnya ditangguhkan
penerbitannya, dan wajib mengikuti pembinaan sesuai rekomendasi yang ditetapkan
tim audit. Perlu penjelasan lebih terperinci tentang bentuk pembinaan yang
harus diikuti BUJP, serta jenis rekomendasi yang dikeluarkan oleh tim audit.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Dijelaskan bahwa Peraturan Kapolri ini merupakan pedoman bagi
penyusunan berbagai standar teknis keamanan, keselamatan, untuk masing-masing
organisasi, perusahaan, dan/atau instansi pemerintah/lembaga pemerintah. Agar
ketentuan ini dapat dipahami oleh setiap instansi bersangkutan dan tidak
terjadi perbedaan dalam penjabarannya, Polri harus memberikan pembinaan teknis
dan mensosialisasikannya, selanjutnya melakukan pengawasan dalam
pelaksanaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar